Untuk Vero [ Surat Setengah ]

Vero,

Aku membaca suratmu.
Pagi ini.
Dalam layar Blackberry yang perusahannya baru saja mengumumkan kalau mereka kini sudah bisa di download via iphone dan android per tanggal 21 dan 22 September tahun ini.
Udara dalam kamar terasa seperti pelukan kekasih yang sedang tak tulus. Aku membaca suratmu sambil terbujur di ranjang-kolong-cadangan tempat yang sengaja kita sediakan untuk para tamu yang biasa datang kalau mereka berminat menginap. Kasurku yang di atasnya, berantakan. Penuh dengan baju-baju yang baru datang dari laundry. Aku membaca suratmu dalam siraman air conditioner di suhu 16 derajat yang rasanya seperti sedang bergolak di lembab cuaca suhu 22 di Jakarta.
Kau tanya apa warna udara di sini  hari ini? Maafkan, harus kubilang aku tak tahu. Pukul 12.32  sejarak terbentang entah berapa ribu miles dari tempatmu berada sekarang, aku tak begitu minat  untuk mengintip corak udara di dunia luar tirai rumah kita. Kau tahu, sakit bulanan ini seperti biasa masih selalu menjadi penyakit naga. Datang  setahun 12 kali seolah ia adalah sepupu yang kangen  untuk bertandang.  Sejak kemarin, aku tak pergi keluar.  Suratmu yang justru membawaku pergi dari bilik kamar ini, menembus jauh udara membelah benua, lalu tiba masuk di sebuah rumah di Boston yang belum pernah kukunjungi tapi selalu kau gambarkan dan kerap aku intip melalui wall facebook di alamat mayamu. Rumah kayu bercat putih itu…
Di tempatmu, musim apa saat ini? Kau lupa cerita tentang musim di sana dalam suratmu kali ini. Tak apa. Aku cukup senang karena sepertinya kamu sering ingat aku. Pertama ngelihat Raphael yang ceria dan hangat, kamu ingat aku. Melihat temanmu yang masak banyak hari ini di sana, kamu juga ingat aku. Datang ke sebuah pesta atau pergi ke suatu tempat yang hip dan hangat, kamu selalu bilang atau bikin laporan di surat-suratmu yang datang via email “Ucu, kamu pasti suka deh! Kamu harus ke sini”.
Makasih ya Ver,  itu tandanya kamu ingat aku. Senang ada yang mengingat. Hidup akan terasa sepi dan sedih sekali bila taka da seorangpun yang mengingat kita. Kalau aku, aku selalu ingat kamu terutama kalau musim mangga tiba atau ujug-ujug melihat tumpukan kesemek di tukang jualan buah. Kamu paling doyan buah berbedak tersebut. Tapi yang paling kerasa dingin dan kosong kalau kamu nggak ada, adalah saat kalau tiba atau sedang begitu banyak acara budaya di Jakarta. Rasanya tak berdaya menyusuri jalan-jalan culas Jakarta sendirian dan menelanjangi etalse pameran dari artis-artis seniman ibu kota yang meng-kalim diri mereka sebagai benda-benda seni, dengan hanya aku seorang diri. Tanpa partner in crime yang sepadan, aku kerap buntung dan berasa galau kesunyiaan.  Hehe. Mungkin itu agak lebay, tapi yah gitu deh yang kejadian.  Btw aku juga samapi sekarang suka ingat kamu kalau lagi masak, Ver. Kamu pasti dan selalu seneng apapun yang kumasakin. Jarang complain dan bahagia-bahagia aja. Kecuali tentu saja, kalau kamu memang lagi kepengenan bikin apaaaa… gitu, dan punya inisitif tuk ramu sendiri menu yang kepengen kamu bikin di hari-hari tertentu.
Senang tuk tahu kalau kamu sama si And sering get along di Boston sana dan mulai keliling-keliling bareng. Gimana? Dia jadi ikut kelas bahasa Indonesia? Btw mulai kapan sih kelasmu itu? ..atau, udah dimulai ya? Ada murid pinter yang lucu nggak?  Hehe. #Abaikan.
Nayla sebentar lagi akan pergi ke London. Dapat juga dia akhirnya scholarship yang diinginkan. Edinburgh. Semoga dia betah dan nggak se-stress Puput di Perancis. Dan tentu saja, aku turut simpati ya sama kalian yang kangen masakan Indonesia tapi keabisan dan nggak dapet apapun dari festival Indonesia di Boston yang kamu sama And, Daniel serta Reza datengin.
Di sini sekarang aku lagi ngerjain dua project documenter, Ver. Dua-duanya belum ada uangnya. Sedang diusahakan. Tapi tetap jalan. Suka dengan semangat dan story-nya. Dua-duanya masih dalam tahap pra-produksi. Yang satu tentang petani, di Sarongge. Yang satunya lagi inginnya bisa meng-capture sosok dan pemikiran bapak pembaharuan islam di Indonesia, Nurcholish Madjid. Lagi bantu dorong dengan semangat dan niat supaya AE teman penulisku itu jadi dan lancar bantuin Mbak Suci tuk buat buku biografi. Master Class Project Change Kalyana juga udah mulai jalan lagi. Oktober akan mulai dibuka entry calling untuk submit story. Si Teteh, aku, lucky, atid sedang coba godok materi workshop. Juga KONTRAS, katanya mereka mau minta bantuan tentang develop sebuah niat, untuk membuat 24 serial story tentang HAM.
Waaah… Kamu nonton film Italy juga? Kebetulan banget Aku juga minggu lalu nonton midnight. Diajak Nong dan Guntur. Pulang dari opening Sirkus Sastra yang jadi acara pembuka Sastra Bienale-nya Mbak Ayu  di Salihara, langsung nonton Malavita. Kocak. Crime comedy gitu genre-nya. Si Luc Besson yang nyutradarain. Mafia-mafiaan. Film yang hangat tapi anehnya bikin aku ngerasa sepi setelahnya. Mungkin karena sehabis nonton aku harus merunut jalan sepi dan panjang sendirian di dalam taksi. Sehabis midnight otw pulang dari Pejaten Village ke Utan Kayu. Aku nggak ngantuk, tapi juga malas ngobrol sama supir taksi.
Kenapa asing? 
Banyak sekali rasa sepi dan bingung tertulis dalam suratmu. Pendek tapi mengarahkan satu keputusasaan yang mau bertahan : bingung, asing, tak paham. semacam galau perasaan ketika PMS tapi ini lebih dalam.
Jangan malas untuk bersedih, seperti jangan takut untuk gembira, Ver. Kita ambil sisi positifnya saja. Karena kadang bingung juga tak paham mengajarkan kita rasa ketersesatan. Mereka boleh pergi dan lalu mendatangi kita lagi dan lagi, tapi kita juga pasti boleh belajar. Keadaan yang terus-menerus datang, situasi-situasi yang tak mampu kita pahami, demikian juga banyak hal lain berulang yang tak kita mengerti… nikmati saja.
Aku tak bisa menyebut nama seseorang secara spesifik di sini, ver. Ini adalah surat setengah yang akan aku lanjutkan via email.
Kalau bisa dan boleh.
Seandainya waktu terus mengijinkan dan ada.
Aku ingin menulis surat juga.
Padamu.
Tak harus yang penting.
Cukup seperti yang kau tulis padaku.
Tentang kabar kabur.
Tentang kata atau cerita yang meski ia cuma keluar setengah.
Tentang perasaan-perasaan yang bingung
Tentang klub-klub atau acara atau orang baru yang sebelumnya sama sekali tak pernah kita pikirkan. Atau seperti yang kamu tulis itu.. Ketika bertemu Alex dan lalu membaca SMS beny di Sabtu siang kemudian kamu wondering tentang apa yang dipikirkan orang di sebuah hari Sabtu siang?

Saat ini,
Aku lagi senang-senangnya dengerin Resah-nya Payung Teduh.
Suaranya bagus dan bikin tenang.
Membuat aku mood untuk menulis.

Kamu nggak merasa aneh, kenapa lagu-lagu tertentu mencipta mood-mood tertentu? Ada teorinya tentang hal itu nggak sih? Kamu kan belajar sound di Harvard sana. Kabari dan kasih tahu aku kalau kamu sudah nemu jawabannya ya.. Dan kalau boleh aku kasih tahu, aku sebenarnya nggak terlalu suka suara-suara perpaduan antara biola tua dan bass yang dibetot terlalu penuh penghayatan. Efeknya akan menimbulkan suara-suara yang seperti habis dipukul. Suara-suara sengsara yang dalam. Suara yang minta untuk dipeluk.

Mungkin…
Ya mungkin banget karena sekarang, aku lah yang lagi butuh dipeluk itu kali ya Ver. Tapi besok sore, aku yakin aku sudah membaik dan si Naga dalam perut udah sembuh 🙂

Udahan dulu ya Ver,
Segera ketemu via email

*ucu

~ yang kesepian di antara coklat milo hangat yang sudah dua kali diseduh untuk merayu supaya naga bulanan dalam perut, tak terlalu menyiksa dengan sakit yang akut. salam cium buat angin boston….   Utan Kayu, Minggu 22 September 2013]***

Published by Ucu Agustin

Indonesian documentary filmmaker based in Washington DC, United States, and Jakarta, Indonesia.

Leave a comment