Tentang pergi ke festival film luar negeri

Saya tak akan lupa momen itu : Februari 2009.

Untuk pertamakalinya saya pergi keluar negeri.
Membuat passport untuk pertamakalinya juga.
Dikeluarkan oleh kantor imigrasi Jakarta Selatan di daerah buncit.
Usia saya waktu itu 32.
Foto saya di passport tampak jelek sekali.
Tapi saya sangat senang.
Yuhuuu akhirnya saya akan pergi ke luar negeri!

Berlin!
Itu kota tujuan saya waktu itu.

Kota pertama yang saya kunjungi dalam hidup, di luar Indonesia.

Tak tanggung-tanggung, membayangkannya sekarang rasanya ajaibin juga! Saya langsung pergi ke Berlinale Film Festival cuy! Terasa agak aneh, tapi itu cukup nyata! Nggak perlu mimpi, eh tiba-tiba udah kejadian begitu saja… Pertamakalinya ke luar negeri, ke Berlin, langsung di Festival Film Internasional Berlin! Yayyy…!!!!


Saya sempat agak di-bully sih karena hal ini . Sama Ibu produser saya si Teteh (Nia Dinata) dan Mbak Mira (Lesmana) yang nggak percaya saya baru pertamakali bikin passport.


“Masa sih teteh? Ah yang bener?”
“Iyaaah… si Ucu baru bikin passport pertamakali ya ini” Seru si teteh dengan heboh.

Hihi, saya geli-geli saja mendengar dua produser itu bergunjing tentang status pertamakali saya ke luar negeri. Dan di antara senyum geli itu saya hanya bisa bercanda nambahin : “Kayaknya emang cuma gue deh mbak… orang Cisaat paling keren se dunia. Hihi. Kalo orang  Sukabumi lain pada naek haji, gue mah jalan-jalan ke Eropa doong. Festival Pelem pulak! Naon eta teh nya festival pelem? Mending umroh..”. Ahahaha. Saya nggak mungkin lupa becandaan itu.

Saya memang belum pernah ke luar negeri sampai umur saya yang segitu ituh. Saya juga nggak nyangka, udah mending saya akhirnya bisa ke luar negeri. Yang namanya rejeki ya boo…  Mana tahu kalau bikin-bikin pelem dokumenter yang kayaknya masih dianggap kegiatan nggak jelas bagi sebagian orang dan nggak ngasilin duit   itu ternyata bisa bikin kita traveling bersama filmnya. Ah, pokoknya ceritanya waktu itu, saya belum mengerti betul bagaimana kekuatan film dengan cerita yang diangkat di dakamnya yang bisa mempengaruhi persepktif penonton dan apa serta bagaimana itu festival film. Naif lah!

Bersama saya, ada Lucky (Kuswandi), Ani (Ema), Iwan (Setiawan) dan tentu si Teteh dari perwakilan film At Stake. Ada Mas Abduh (Aziz) dari DKJ. Ada Mbak Mira dan Mas Riri (Riza) serta Andrea (Hirata) Mas Toto (Prasetyo) serta orang-orang Mizan untuk Laskar Pelangi. Dan di sana pun ketemu Edwin (Babi Buta) yang sepertinya baru datang dari Rotterdam Film Festival waktu itu dan membawa filmnya A Trip to The Wound, lalu ada juga Tumpal (Tampubolon) yang turut di Berlinale Talent Campus, Ada Sur (yani Liauw), Putri (QFest) serta Joko (Anwar) yang membawa film Pintu Terlarang. Ada Mas Garin (Nugroho) juga sebenarnya waktu itu yang  datang dengan film Generasi Biru –tapi dengannya kami tak bertemu sesering dengan nama-nama yang tadi disebut di atas. Juga di tengah jalanan di Berlin, kami kerap bertemu dan berselisihan jalan dengan Pak Haris (Lesmana) salah satu pemilik dari Jaringan Cineplex-21.

Tentang Pak Haris, Mbak Mira punya cerita.

Kata Mbak Mira, Pak Haris “Kalau pergi-pergi keluar negeri biasanya sampai bawa rice cooker segala lho dia!”
“Ah masa?” Kami kepo.
“He’eh. Sumpah! Pada bawa teri segala.. Rendang! Pokoknya kumplit deh! Enak kalau ada dia, terjamin!”

Oh ya, sebelum lupa. Waktu itu  selain kami, dari Indonesia ada juga perwakilan dari Blitz Megapleks. Nanda, istrinya Prisa Nasution, serta Syarika. Kontingen Indonesia cukup rame lah pokoknya. Kayak rombongan lenong. Acara Cinema Indonesia Night Party di Inter-Soup pun jadi seru dan sekaligus bikin dunia agak ‘goyang’. You know lah maksud ay!

Berlinale 59 tahun 2009, adalah moment yang begitu berarti bagi saya. Saya rasa, saya tak akan pernah bisa melupakan pengalaman ini.

Oh ya! tentu saja John Badalu ada di setiap corner dan moment dari acara-acara kami di Berlinale Film Festival waktu itu. Mas Eric yang dikenal sebagai kritikus film Indonesia pun datang beserta istrinya, Mbak Maya.

***

Menjadi seniman di Indonesia atau menjalani kerja kreatif profesional tapi sebagai freelancer tanpa pemasukan rutin sungguh sangatlah tidak aman. Darimana saya punya uang untuk beli tiket ke luar negeri? Bagaimana nanti kalau saya mau jajan? Mahal kah makanan di sana?

Saya tak punya uang. Seingat saya, pada saat yang bersamaan di bulan Februari waktu itu, saya juga butuh uang untuk membayar kontrakan. Saya share sebuah rumah kontrak di Utan Kayu bersama Vero. Kami butuh sekitar 10 juta untuk biaya sewa rumah setahun yang kami share, dimana dengan sisa tabungan saya, saya berhasil membayar rumah kontrak kami.

Meski kere dan tak punya duit, tapi acara dan undangan untuk datang ke festival?

Bodo lah! Dari mana kek duitnya! Pokoknya saya harus pergi! Saya harus melihat bagaimana sih festival film yang sesungguhnya? saya mau banyak nonton! Ah katanya di sana bisa ketemu bintang film idola! Oooohh…

Kepala saya lebih dipenuhi hal-hal indah nan seru penuh semangat dan antusias daripada mikirin soal kemiskinan melanda yang terus menerus menjerat kehidupan keuangan waktu itu. Hihi. Dan saya selalu suka spirit tersebut. Ketika kita tak perlu pikir duit dan cukup semangat membara lalu terserah deh apa yang terjadi nanti terjadilah… Yang penting pemenuhan curiousity!

Semua cerita tersebut di atas, dan spirit yang saya rasakan waktu itu.. itulah yang kembali saya ingat saat sore tadi, Dian –seorang kolega dari Koran Tempo, me-whatsapp saya dan mengajukan beberapa pertanyaan berkenaan dengan kisruh rame-rame urusan delegasi pemerintah yang  diberangkatkan ke Festival Film Berlinale tapi nama-nama dalam list yang akan berangkat sama sekali tidak mewakili atau dikenal di dunia film.

Joko Anwar yang tentu tak bisa diam melihat ketidak-adilan merajalela di dunia per-peleman (#eaaaaa… ), tentu tak bisa diam dooonk. Dia nge-tweet. Dan cukup melalui media social micro bloging 140 karakter itu, isu tersebut pun ke-blow up.

Sejak dua hari lalu saat dia menemukan entah darimana berkas kertas yang tertulis jelas menerangkan nama-nama delegasi Indonesia yang berangkat ke Berlinale Film Festival tapi tak tersebut satu pun dari nama sutradara –teman-teman generasi muda yang tahun ini filmnya masuk di sesi Short Film Competitiondan di sesi Generation : Wregas dan Loeloe, juga sejumlah nama lain yang ikut di Berlinale Talent Campus, dunia persilatan memang jadi rame. Rame yang semacam menjadi rangkaian yang terus-menerus dari ketidakbecusan pemerintah ngurusin hal yang berkenaan dengan film. Kemarin baru saja rame urusan FFI yang kacrut, juga sebelumnya kata produserku Mbak Ula, juga AFI yang sebenarnya kacrut juga.

“Lo pernah ke Berlinale, Cu?” tanya Dian tadi sore.
U : Pernah. Tahun 2009. Berlinale ke-59.

Film kami, antologi dokumenter AT STAKE/PERTARUHAN yang terdiri dari kompilasi 4 film dokumenter pendek, waktu itu memang menjadi film Indonesai pertama yang diputar dan masuk terseleksi di Berlinale. Kami masuk di program Panorama.


D : Waktu itu lo uangnya untuk berangkat dari mana?
U: Gue nggak tahu ya tepat dan detail ceritanya gimana, lo telpon aja si teteh (Nia Dinata) tapi yang jelas gue tahunya kita ditanggung Kalyana Shira yang denger-denger sih katanya dapat grant travel dari Ford Foundation dan support dana dari The Body Shop Indonesia.

D: Jadi lo berangkat bukan dari suport pemerintah?
U: Sama sekali nggak booo… Negara absen lah dalam urusan ngirim-ngirim orang atau support perfilm-an Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri. Selalu ribut aja antar mereke sendiri. Tuh, kayak FFI! Kayak AFI!

Lalu saya pun bercerita pada Dian, setelah delapan tahun saya berkecimpung di dunia film-film-an, barulah saya dapat support dari negara Indonesia tercintah berupa dukungan langsung keuangan, hanya pada waktu untuk keberangkatan ke IDFA pada tahun 2013.

U : film pendek saya Farewell My School diputar di festival di Amsterdam tersebut. Dan Kemendikbud melalui program Dukung Film Pendek Indonesia membiaya travel saya dan dua orang pembuat film lainnya yang filmnya juga sama-sama diputar di IDFA dan masuk dalam program IDFA – spotlight 2013 Emerging Voices From South East Asia.

D : Kalau pengalaman lo dengan festival lain?
U : Film gue Ragat’e Anak diputar di Denmark (2009) dan gue pergi ke Arhus Film festival, itu ditanggung penyelenggara festival. Gue ke Madrid (2011), film Conspiracy Of Silence diputar oleh  Cino Politico Dirigido For Mujeres Film Festival, itu ditanggung oleh perempuan-perempuan di Madrid yang ngotot untuk bikin film festival yang disutradarai oleh pembuat film perempuan. Juga ke tempat-tempat lainnya. Nah baru pas kemarin waktu berangkat ke IDFA aja! Tahun 2013 itu. Aku berangkat pakai uang negara dari pajak rakyat cyiiin…

Saya masih ingat. Waktu itu saya mendapat support berupa return flight ticket Jakarta-Amsterdam, biaya pembuatan passport di kedutaan Belanda di Kuningan Jakarta, dan biaya paket  untuk transport – makan – akomodasi – lokal transport di Amsterdam serta biaya dari dan ke airport serta airport tax yang semuanya berjumlah total : Dua belas juta rupiah (Rp, 12.000.000,-)  untuk 6 hari kami menghadiri IDFA. Sekitar 125 Euro sehari. Dengan pertimbangan akomodasi hotel antara 60-80-100 euro per hari, maka ya itung aja sendiri berapa kami bisa pakai buat meal dan transport. Uang 12 juta dengan kurs rupiah 15ribu /per 1euro, maka sekitar 800 euro untuk meng-cover keperluan teknis kami delegasi yang di dukung pendanaan-nya oleh kemendikbud.

U : Waktu itu ditemenin. Ada Lalu (Rais) yang bahkan nemenin kita  di kedutaan tuk pastikan kalau kita dapat visa ke Amsterdam. Juga mereka mengusahakan agar uangnya di-transfer langsung ke rekening dan kami nggak ngambil uang cash dimana baru setelah itu, tanda tangan kwitansi, yang nominal uangnya cocok sejumlah nominal yang di-transfer.

U : Ya itu bagus ya sistem yang diterapkan Lalu di program Dukung Film Pendek. Kami beneran ditemenin hingga nggak ada catutan duit atau apa-apa yang selama ini kita dengar sering terjadi kalau berurusan dengan lembaga negara. Tapi ya agak disayangkan-nya itu…

Kemudian saya pun bercerita bahwa sesungguhnya, selain saya, Chairun dan Ismail, ada juga mas Tonny (Trimarsanto) yang berangkat bersama kami ke IDFA 2013. Mas Tonny sudah apply untuk mendapat dana support untuk perjalanan ke IDFA tapi ditolak dengan alasan apalah waktu itu… saya lupa. Sayangnya, ada dua orang yang ikut –ceritanya mereka menemani kami delegasi Indonesia di IDFA, tapi kami hanya bertemu sekali selama event IDFA berlangsung. Dua orang ini : satu dari EO, dan satu lagi dari kemendikbud.

Sebenarnya, terserah saja mereka mau jalan-jalan di Eropa seperti ke Perancis atau kemanapun dan ngabisin uang mereka entah untuk shopping apapun serta menonton atau tidak menonton film dokumenter keren-keren yang diputar di IDFA. Itu hak mereka lah… Hanya saja saya merasa ironis perihal yang berkenaan dengan penjatahan tersebut. Bisa nggak sebenarnya kalau untuk pembuat film yang filmnya diputar,  ditambahkan satu dalam anggaran? Dan dari perwakilan supervisi atau menemani atau apalah itu namanya tersebut, dikurangi satu? jatah orang itu kenapa nggak dikasih saja buat mas Tonny?

Festival film bagi kami tuh kayak peristiwa naik haji atau umroh. Semacam ibadah. Semacam kita berkunjung ke Lourdes atau Mekah. Ada nilai sakral dan mau berproses dengan pengalaman sambil terus belajar. Kalau mbak-mbak atau ibu-ibu mau belanja ke Paris atau mau lihat-lihat keadaan terkini kota di Eropa, bisa nggak pake duit sendiri saja dan bukan ngambil dari jatah negara?

* * *

Sebelum Februari 2009, saya belum pernah melihat salju.

Sejauh yang saya rekam dalam ingatan, salju adalah sesuatu yang berwarna sangat putih dan tampak begitu dingin. Ia dengan halus turun dari langit dan bila terkena sentuh tangan akan meleleh lalu cair dan bikin basah.

Orang-orang yang melakukan aktifitas luar rumah di musim salju, tampak di tivi akan mengenakan baju tebal dan berjalan tergesa. Mereka seolah kedinginan tapi biasanya ekspresi mereka senang-senang saja dan cenderung menikmati musim yang bikin perut lapar terus –terutama untuk orang asia yang biasa berada di negara tropis macam saya ini.

Februari 2009 melalui sebuah film, perjalanan menuntun saya untuk berada di luar Indonesia untuk pertamakalinya. Perjalanan ajaib yang membuat saya lebih meyakini pilihan untuk berada terus di papan penyebrangan dari diri saya yang individualis menjadi diri saya yang harus pandai melakukan kolaborasi. Bertemu para pembuat film dari berbagai negara di belahan dunia di festival, melihat karya mereka dan membanding apa yang telah kita bikin atau apa yang bisa kita pelajari dari karya mereka : pendekatan, tekhnik, cara bercerita,  gaya kamera… Festival film adalah jelas sebuah ruang belajar besar bagi saya. Lab yang penuh dengan kimia ajaib yang masih harus saya pelajari.

Saya tak pernah masuk ke sekolah film. Yang saya cari sampai saat ini adalah selalu cerita dan saya tak tahu apakah itu salah atau tidak dan mungkin saya bisa salah atau bisa tidak karena dalam dunia saya tak ada yang hitam putih melulu salah atau tidak. Semuanya bisa dicoba. Segalanya bisa dilakukan. Jangan berhenti meramu kreasi.

Tiap pembuat film menemukan dirinya yang berbeda-beda dalam karya-karya yang dibuatnya. Tiap pembuat film menyumbangkan inovasi atau memberi kontribusi pada dunia kecil dan besarnya melalui karya yang dibikinnya : ada yang berguna dalam jangka waktu lama, ada yang selalu dikenang, banyak yang dilupa, tak sedikit yang cuma membuat sampah. Kesalahan, memberi kontribusi paling besar untuk perbaikan! Saya tak pernah lupa formula itu : JANGAN TAKUT GAGAL!!!

Apapun yang kita bikin, bagus atau busuk, semuanya adalah proses yang masih terus berproses. Proses mencipta budaya merekam dan atau membuat cerita visual, mungkin masih merupakan hal baru bagi Indonesia terutama bagi para pemangku kebijakannya yang masih garuk-garuk peler dan tak punya waktu (atau tak berusaha menyisihkan waktu) untuk belajar membuat kebijakan dari sebuah tontonan ditambah dengan masa jabatan dengan pangkat yang selalu berubah-ubah sesuai dengan siapa kepala negaranya. Ganti presiden, ganti direktorat anu. Belajar berulang dari mula dan mula lagi, para pejabat itu. Nggak kelar-kelar. Selalu mulai dari assesment dan proses awal. Kerjanya untuk perfilm-an, kapan mulai?

Lalu pertanyaan ini menyusul seiring dengan kasus kacrut yang beruntun terjadi di pengelolaan dana atau acara yang berkenaan dengan perhelatan film di Indonesia yang memakai duit dari negara : haruskah kita para pembuat film dalam bergerak atau menggali pengetahuan atau semacam pergi ke festival, tergantung dari rasa kasihan para pejabat? Haruskah kita terus menghiba untuk minta mereka ngasih ‘jatah’ demi mensupport para benih muda perfilm-an Indonesia yang karyanya tengah merekah membuat harum nama Indonesia di festival di luar negeri sana?

Saya terharu malam ini untuk tindakan yang dilakukan Aditya Ahmad.

Adit  baru saja mendarat di Berlin dengan uang untuk tiket pesawat yang dibeli dari tabungan yang dia kumpulkan. Adit mencoba mencari dukungan dana dari travel grant yang biasa diberikan Ford Foundation, katanya “Tapi terlambat Mbak, mereka dana hibah perjalanannya udah habis jatahnya”, ucap Adit di whatsapp.

Wregas dan Lulu, dapat bantuan dari kemendikbud kok
dengan bantuan BPI
tapi dana (kemendikbud)nya nggak cukup untuk support talent campus
pakai tabungan sendiri deh mbak
sebel banget waktu tahu kemarin kemenparekraf  mengirimkan 15 orang
gilaaaaa…
pengalaman Berlinale tahun lalu pas main ke booth ga ada orang
pada belanja!!! sedih…

Itu isi wa Adit.
(lalu sedikit gosiip tentang katanya si anu pejabat anu meng anu si anu ssttt..ssstt..stt…)

Saya pun melanjut  percakapan:

Nah, terus kamu di Berlin nginep dimana?
di hostel?
atau di tempat Step (hanie larassati)?

A :
Aku nebeng hari ini di rumah teman

U:
Ooh goooddd!!! (tanda jempol)
Iya nebeng aja di sofa siapaaaa.. gitu

A:
Tapi mulai besok nginap di hostel yang dikasih Berlinale

U:
Oohhh.. alhamduyesus cyiinnn. (tanda jempol dan orang menari)

A:
iyah nih mbak… tipis banget.. ahahaha

U:
ooohhh #pukpuk
duh hebat dit, kamu nekad!
bener-bener anak muda!
ngapain diem aja? uang bukan perkara!
jalaaannn!!! long live creativity!!!
— hihihi, trus kedinginan sambil ngenes nggak bisa jajan di negara orang. *ironis–
emang ngehe tuh pejabat!

A:
hahahahaha
sayang banget kesempatan ini kalaw dilewatkan
harus maksain bisa berangkat!

U:
kereeennn!!!
semangat yaaakkk!
semoga bisa belajar banyak.
berlinale talent beda treatmen dengan sutrrada di berlinale
kalau jadi sutradara di festival bagus dan besar itu kan wuiihhh.. berasa jadi sutradara beneran di treat nya. hihi. itung-itung hiburan sebentar.
kalau talent, ya…
sip sip!
gut lak ya adit!
Rock the talent Cyiiinnnn!!!

A:
tengkyu mbak ucuuuuu

U:
#tetapsemangat adiittt (gambar lengan dikepal dan kepala ketawa besar)

A:
OH YEAAHHH!!!!

Saya menutup wa percakapan saya dengan Adit sambil senyum-senyum.

That’s anak muda!
Tak banyak pertimbangan!
Just action!

Dan ingatan saya kembali ke sana….

Tempat yang untuk pertamakalinya saya memegang langsung air beku bernama Salju. Memakai jaket musim dingin pinjaman dari Vivian dan mengenakan sepatu boot  yang saya beli di daerah entikong perbatasan Malaysia-Kalimantan entah dari sejak kapan tapi nggak tahu harus dipake dimana di Jakarta. Saya ingat saya berdiri di Postdamer Plazt  dan terpesona melihat bulir putih halus itu turun ke jalanan. Semuanya begitu dingin dan cakep. Kisah bengis penyiksaan di Auswitch yang menggedor siapa saja yang melewati museum terbuka pengingat penyiksaan di tengah kota Berlin tersebut, seolah hilang dulu untuk sementara.

Di kepala saya waktu itu, hanya ini yang ada dan berbunyi kayak lonceng di sana:

Akhirnya di sini saya!
Berlin di musim dingin untuk pertama kalinya!
Saya ada di sebuah festival film beneran! Yaayy!!!
Saya mau ketemu Jose Padila!
Yak!

🙂

Tak ada ketakutan tak punya uang.
Saat itu.

Published by Ucu Agustin

Indonesian documentary filmmaker based in Washington DC, United States, and Jakarta, Indonesia.

Leave a comment